Jadi Warisan Budaya dari Blitar, Jamasan Wayang Kyai Bonto Tarik Animo Wisatawan
BLITAR – Tidak hanya ritual jamasan pusaka Gong Kyai Pradah di Lodoyo saja yang dilakukan setiap Bulan Maulud, jamasan pusaka wayang kayu Kyai Bonto juga digelar di Dusun Pakel, Desa Kebonsari, Kecamatan Kademangan, Kabupaten Blitar, Jumat (29/9/2022).
Seperti halnya Jamasan Gong Kyai Pradah di Lodoyo, jamasan pusaka ini mengundang animo ribuan warga yang menanti berkah dari bekas air untuk mensucikan wayang kayu Kyai Bonto. Warga percaya air tersebut dapat mendatangkan berkah kebaikan.
“Bersamaan dengan acara Jamasan Gong Kyai Pradah juga dilaksanakan prosesi Siraman Kyai Bonto. Ritual ini dilaksanakan dua kali dalam setahun, yaitu setiap 1 Syawal dan Rabiul Awal yang bertepatan dengan Maulid Nabi Muhammad SAW,” jelas Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Blitar, Suhendro Winarso.
Tradisi jamasan wayang Kyai Bonto cukup unik karena lazimnya siraman dilakukan terhadap pusaka-pusaka dalam bentuk keris, tombak, gong dan lainnya. Ritual budaya jamasan wayang Kyai Bonto adalah menjamas wayang krucil.
Ada tiga buah wayang krucil, di mana salah satunya diberi nama Mbah Bonto. Siraman Mbah Bonto ini dilakukan dalam sebuah upacara tradisional di Dusun Pakel, Desa Kebonsari, Kecamatan Kademangan, Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Ritual budaya ini rutin digelar dua kali dalam setahun yakni setiap 1 syawal dan Rabiul awal bertepatan dengan Maulid Nabi Muhamad SAW
Tradisi jamasan Kyai Bonto ini sudah hidup selama ratusan tahun. Belakangan ritual budaya ini telah mendapat apresiasi dan penghargaan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB).
“Siraman Kyai Bonto ini sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI pada tahun 2022. Kami berharap ke depan jamasan wayang Kyai Bonto ini bisa terus dilestarikan dan bisa menambah daya tarik wisata budaya di Blitar,” urai Suhendro.
Menurut cerita lisan, Kisah keramat wayang Kyai Bonto bermula dari perjalanan seorang bangsawan dari Mataram bernama Pangeran Prabu menepikan diri ke Blitar. Di Blitar tepatnya di wilayah Blitar Selatan, Pangeran Prabu kehilangan salah putrinya karena meninggal dunia hanya beberapa saat setelah dilahirkan. Di tempat ini Pangeran Prabu kemudian meninggalkan sekotak wayang krucil di sebuah tempat yang kemudian dinamakan Dusun Pakel.
Putri Pangeran Prabu yang meninggal dunia itu bernama Raden Ayu Suwartiningsih. Dalam perkembangannya, ziarah ke makam Raden Ayu Suwartiningsih kemudian menjadi bagian dari tradisi Jamasan Kyai Bonto hingga saat ini.
Adapun proses menyirami wayang ini dimulai dengan membuka kotak hitam oleh Kepala Desa Kebonsari. Yang disiram pertama kali ialah wayang kerucil Kyai Bonto, kemudian diikuti dua wayang yang lain. Menurut cerita lisan, dua wayang lainnya tidak diberi nama karena hanya untuk menemani wayang krucil Kyai Bonto di alam gaib. Setelah dicuci, wayang kemudian diangkat agar diketahui penonton di bawah.
Setelah prosesi siraman selesai, bunga bekas siraman Kyai Bonto tadi dijadikan satu dimasukkan ke gentong yang sudah bercampur dengan air. Bunga yang sudah dicampur air tadi dibagi-bagikan kepada seluruh pengunjung dengan cara sirat-siratan atau mengguyurkannya dari atas. Prosesi ini mirip dengan Jamasan Gong Kiai Pradah di Alun-alun Lodoyo.
Wayang Mbah Bonto yang dikeramatkan masyarakat Blitar Selatan saat ini disimpan di rumah Musiman, seorang kamituwo dongkol (mantan perangkat desa). Wayang keramat tersebut disimpan dalam sebuah kotak kayu. Wayang Mbah Bonto sepintas terlihat seperti Semar, tokoh punakawan dalam dunia pewayangan. Dua wayang lainnya berbentuk seperti Buto dan Pragata.
Masih menurut cerita lisan yang berkembang di kalangan masyarakat setempat, wayang Kyai Bonto dalam waktu tertentu suka menjelma menjadi macan putih. Tidak sedikit penduduk di desa setempat yang melihat dan bertemu dengan macan putih jelmaan Kiai Bonto.
erdasarkan penelusuran, wayang Kyai Bonto di Blitar Selatan ternyata ada keterkaitan dengan Gong Kyai Pradah di Lodoyo. Dua pusaka ini merupakan harta pusaka Kerajaan Mataram Islam yang dibawa Pangeran Prabu dari Kartasura.
Dikisahkan kala itu Pangeran Prabu berseteru dengan Pakubuwono I yang merupakan saudara tirinya. Pangeran Prabu ingin membunuh Pakubuwono I dan mengkudeta dari tahtanya. Saat Pakubuwono I dinobatkan sebagai raja, Pangeran Prabu ternyata sakit hati. Peristiwa ini mungkin terjadi pada tahun 1704, saat suksesi kekuasaan di Mataram dari Sunan Amangkurat III ke Sunan Pakubuwono I.
Pangeran Prabu dihakimi setelah tertangkap basah hendak melakukan kudeta. Pangeran Prabu menyesali perbuatannya dan meminta maaf kepada Pakubuwono I. Pangeran Prabu diampuni dan kemudian menyingkir ke Jawa Timur dan menetap di Lodoyo Kabupaten Blitar. Di tempat baru ini Pangeran Prabu bertapa hutan belantara dan kemudian menyebarkan syiar Agama Islam.
Dalam perjalanannya ke Jawa Timur, Pangeran Prabu membawa pusaka Bendil Kyai Bicak dan seperangkat wayang krucil. Dalam perjalanannya yang panjang itu ia akhirnya tiba di hutan Lodoyo yang pada waktu itu sangat angker dan banyak dihuni binatang buas. Dalam perjalanan ini Pangeran Prabu ditemani istrinya Putri Wandansari dan abdi setianya Ki Amat Tariman.
“Selain pusaka Kyai Bicak, Pangeran Prabu juga membawa wayang krucil. Pusaka Kyai Bicak itu yang sekarang kita kenal dengan Gong Kyai Pradah. Sedangkan wayang krucil itu dikenal dengan nama Kyai Bonto,” jelas Kepala Dinas Pariwasata dan Kebudayaan Kabupaten Blitar, Suhendro Winarso.
Sepeninggal Pangeran Prabu, kedua pusaka ini kemudian disucikan tiap Bulan Syawal dan Bulan Maulud. Masyarakat percaya bekas cucian dari kedua pusaka ini mengandung banyak keberkahan.
Sampai saat ini kedua tradisi ini kini rutin digelar tiap Bulan Syawal dan Bulan Maulud bersamaan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Jamasan pusaka ini selalu ditunggu dan mengundang animo ribuan warga yang menanti berkah dari bekas air untuk mensucikan wayang kayu Kyai Bonto.
Share this content: